Keliling 7 Negara di ASEAN cuma 3 jutaan : Atas Nama Rindu (Bagian Pertama)

Atas nama rindu mengagumi bentangan alam ciptaan-Mu, maka aku tulis jejak-jejak perjalanan 14 hari mengunjungi 7 negara di Asia Tenggara. Perjalanan yang sejatinya luar biasa, yang harusnya diberi garis bawah atau disusun miring dalam memori karena belum tentu semua orang mendapatkan kesempatan ini. Tapi untuk menuliskannya? Sejujurnya saya ragu-ragu bahkan nyaris enggan. Sepertinya masih kurang bersyukur saat itu dan fokus mengerjakan skripsi. Akhirnya, berbekal motivasi Pramoedya Ananta Toer tentang menulis saya akan mulai menulis perjalanan luar biasa ini.
“Menulislah, apa pun, jangan pernah takut tulisanmu tidak dibaca orang, yang penting tulis, tulis, dan tulis, suatu saat pasti berguna. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama dia tak menulis, Ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”  (Pramoedya Ananta Toer)

Sebelum di mulai mari kita saling berkenalan  dulu, tim ini
dinamakan Brewok Backpacker. Brewok Backpacker terdiri dari empat orang yaitu: Irsyaad Suharyadi, Muhammad Al-Fata Ramadhan, Pimgi Nugraha, dan Rio Alfajri. Saya dan Rio mengambil studi di Hubungan Internasional, Fata di Fakultas Ilmu Komunikasi, dan Pimgi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, semuanya merupakan  mahasiswa Universitas Padjadjaran angkatan 2012.



Hari Ke-1 (Bandung-Jakarta-Singapura)


Sebetulnya, jadwal keberangkatan kita di bandara Soekarno-Hatta (Soetta) ke Vietnam transit di Singapura sekitar pukul 11:00. Tapi untuk berjaga-jaga agar tidak terjebak kemacetan Jakarta, kami berangkat jam 1 pagi dari Bandung menggunakan bis Primajasa. Tiketnya 115.000. Alhamdulillah ayah berkenan mengantarkan kami dari Asrama PPSDMS Sadang Serang ke Pool bis Primajasa di Caringin. Sekitar pukul 6 kurang beberapa menit kami sampai di bandara Soetta. Langsung shalat subuh dan mulai makan roti yang dibawa berbungkus-bungkus. Rencananya roti-roti ini jadi bekal pertahanan agar enggak kelaperan selama di luar negeri. Sayangnya, roti saya paling cepat habis dibandingkan dengan teman-teman lain.

Kembali ke topik utama, di pintu Boarding Tiger Air penjaganya sangat ketat sekali, beberapa penumpang yang membawa berlebih harus merogoh kocek sambil ngomel-ngomel tiada henti kepada petugasnya yang mengenakan kemeja biru. Beberapa justru bukan orang Indonesia, ada orang Tiongkok dan Jepang. Entah paham enggak itu penjaganya.  Saking takutnya, kami coba bertanya-tanya ke warga sekitar. Alhamdulillah berkat saran mba-mba yang menggunakan tas backpacker seperti kami menganjurkan untuk menghitung sendiri tas kami di timbangan yang maskapainya belum beroperasi. Setelah proses tawar-menawar, titip-menitip barang sesama kami percaya diri membawa tas-tas kami yang masing-masing isinya imbang 10 Kg. Antara sial tapi harus tetap bersyukur, karena ketika kami kembali petugas yang galak berbaju biru itu sudah ganti shift dengan orang lain yang nggk segalak beliauWkkwkwk


Sesampainya di bandara Changi memang oke desain interiornya dan banyak fasilitas-fasilitanya. Uniknya, saya melihat pemandangan kontras disamping banyaknya kaum borjuis ada banyak rombongan umroh Indonesia di Bandara Changi. Selain itu, ada juga rombongan Jamaah Tabligh yang baru dari India, Pakistan. Alhamdulillah diantara mereka ada yang asalnya dari Cikutra, Bandung jadi bisa nyambung ngobrol-ngobrol. Orang-orang Singapura dan Malaysia juga bisa nyambung ngobrolnya. Kalau orang yang berbahasa arab nyambungnya sama Fata, Pimgi, dan Rio juga. Mungkin lain kali saya harus belajar bahasa Arab dulu hehe, plus sama bahasa Mandarin insyaallah aman keliling dunia.


Setelah bersih-bersih badan kami melanjutkan perjalanan ke Marlion menggunakan City Tour Card ala Singapura, Harganya sekitar 100ribu rupiah. Memang enggak sempat keliling lebih jauh di Singapura karena berencana balik ke Bandara buat nikmatin fasilitas pijet, nonton film, main game, dll. Walaupun sempet ada cek-cok sedikit karena saya kelaperan dan minta untuk mampir cari-cari makan dulu sementara yang lain sudah kepingin menuju Bandara Changi lagi. Ternyata setelah sampai Bandara, pintu boarding baru dibuka sekitar jam 11 malam bagi penumpang keberangkatan esok hari. Walhasil kami nongkrong di McD bandara.

Setelah berhasil masuk kami disuguhkan pajangan Star Wars yang lagi hits saat itu, langsung saja temen-temen pada popotoan bareng. Sambil nungguin, saya cari-cari ternyata banyak fasilitas air minum umum. Bagi Backpacker, fasilitas minum air gratis ini jangan sampai disia-siakan karena cukup menghemat pengeluaran. Baru pagi-paginya saya sempat memakai fasilitas pijet, itupun harus jalan sampai paling ujung yang notabenenya ketika balik lagi akan pegel-pegel lagi hehe. Baru sekitar pukul jam 7 kami menaiki pesawat menuju Ho Chi Minh, Vietnam. Total tiket dari jakarta ini seharga Rp. 690.000.

Hari Ke-2 (Ho Chi Minh, Vietnam)

Sekitar pukul 10.00 kami sampai di Bandara Ho Chi Minh, Vietnam. Bandaranya cakep, orang-orangnya juga cakep. Saya lumayan kaget negara yang komunis ini fasilitasnya cukup maju dibandingkan di negara kita sendiri. Usut punya usut, kemajuan Ho Chi Minh didorong oleh kolonialisasi di bawah kepemimpinan Amerika Serikat. Kabarnya, ibu kota Vietnam yaitu Hanoi kalah jauh dengan Ho Chi Minh. Cerita kembali lagi ke Bandara, Fata saat itu bertanya kepada petugas penukaran uang dimana musholanya ya. Berhubung sepertinya petugas itu tidak paham, akhirnya Fata bilang dimana 'prayer room', setiba-tiba wajah petugas yang manis-manis itu jadi galak. hehehe, Kami lupa ini negara Komunis :P

Setelah cukup tertawa-tawa kami langsung melanjutkan perjalanan keluar dari Bandara menuju penginapan. Kami naik bis kota di sana dan suasananya persis suasana film-film Tiongkok jadul. Beruntung dalam perjalanan kami dipertemukan dengan orang-orang yang baik. Satu kondektur bus, dan satu lagi siswa lokal disana. Setelah mencari-cari penginapan kami memutuskan untuk mengunjungi Post Office terlebih dahulu. Jalanan di Ho Chi Minh kebanyakan One Way dan pengguna jalannya saat taat aturan dalam menyebrang jalan. Jadi kelihatan lebih tertata rapi dan jalan tidak membahayakan.


Total perjalanan pagi menjelang siang itu sekitar 1 KM dan itu membuat kulit kami menjadi geseng atau bertranformasi menjadi lebih kecoklatan dengan kadar yang amat sangat tinggi. Sesampainya di Post Office itu penataan ruangnya sangat bagus. Jadi, selain ada Post Office didepannya ada patung Ho Chi Minh, dan ada juga Taman yang luas, yang kemudian menghadap ke Sungai Mekong. Mirip-mirip dengan Gedung Sate yang didepannya ada Lapangan Gasibu, dan Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat. Untuk tingkat kepanasan cuaca di Vietnam silahkan lihat perubahan warna kulit wajah-wajah kami. Memang salah kami juga karena keluar waktu matahari terik-teriknya. Siang itu kami memutuskan untuk menginap di Saigon Backpacker Hostel. Kalau saya enggak lupa tarifnya sekitar 7 dollar. Memang di Ho Chi Minh ini orang-orangnya sudah terbiasa bertransaksi menggunakan dollar.

Hari itu berjalan tanpa sore, karena saya tertidur lelap setelah bertemu dengan kasur. Menjelang Malam, Alhamdulillah kami dapat kabar salah seorang Temen Rio mengajak ketemuan. Namanya Thao dulu pernah satu tim sama Rio di acara AEON. Dengan punya temen di berbagai belahan dunia itu bakal lebih tenang karena banyak yang bisa bagi ilmu maupun hal-hal lainnya. Oleh karena itu, punya temen dari berbagai dunia itu penting. Sebelum berhasil ketemu ini saya menyaksikan ada maling lokal yang berusaha ngambil motor orang di parkiran yang ada di pinggiran jalan. Berhubung saya juga enggak berani neriakin malingnya, takutnya malah neriakin maling orang-orang lain nggak ada yang waro karena enggak ngerti saya coba panggil satpam sekitar. Entah satpam entah militer, akhirnya dia mau ikut saya. Sayangnya, persis ketika  mau nunjukin malingnya, si maling ngelihat saya. Sontak saja saya balik badan sambil nunjukin pak satpam atau militer itu malingnya. Sayang seribu sayang dia enggak ngerti yang saya bilang. Akhirnya, saya dan waktu itu ada Pimgi memutuskan lanjut saja takut malah urusan ribet dan takutnya ada main antara kedua orang itu dan saya enggak bisa balik ke Indonesia.

Setelah makan bareng-bareng, kami berempat mencari Mesjid bernama Saigon Central Mosque, kabarnya enggak terlalu jauh dari lokasi makan tadi. Sampai disana rupanya masjidnya sudah mau tutup. Jadi kita enggak bisa lama-lama dan mengurungkan niat untuk menginap di mesjid untuk malam berikutnya. Di masjid itu kami bertemu marbot masjid yang bisa sedikit-sedikit cakap melayu jadi kami rada nyambung. Selain itu, kami bertemu juga dengan muslim Australia. Teman baru kami, Thou sempat  heran hubungan apa yang ada diantara orang-orang muslim sehingga bisa sangat akrab satu dengan lainnya? Apa menurut kalian?

Sebagai penutup malam kami mengunjungi Turtle Lake. Menurut data yang kami cari dinamakan demikian karena bentuk danaunya yang mirip kura-kura. Menurut Feng Shui, ada naga yang bersembunyi di bawah tanah Saigon ini dan ekornya berada di turtle lake sementara kepalanya berada di Independent Palace. Waktu di lokasi kami cari-cari tugu kura-kura kok nggk ketemu-temu. Akhirnya, entar benar atau salah kami meyakini tempat ini sebagai Turtle Lake. Bisa jadi salah, tapi Innama a'malu binniat. Setelah itu, kami pun kembali ke penginapan.
Hari Ke-3 (Vietnam-Kamboja)

Malam itu sepertinya saya kena gejala masuk angin. Alhamdulillah Fata sebagai PJ logistik sudah mengingatkan bawa obat-obatan yang cukup. Malam itu saya ngacir ke dapur hostel dan buat teh madu hangat + buah pisang yang disediakan. Alhamdulillah manjur dan tidak jadi sakit. Menjaga kesehatan adalah poin penting dalam perjalan backpacker agar tidak mengalami kendala yang justru menyusahkan diri sendiri di tanah orang. Kalau berjalan berkelompok usahakan selalu ada ketuanya yang bisa menjaga ritme tim agar tidak terlalu lelah dan jatuh sakit.

Keesokan paginya, kami mendapatkan fasilitas sarapan roti dan telur yang bisa temen-temen lihat sendiri. Habis itu kami beres-beres kamar dan melanjutkan perjalanan ke Independent Museum. Saat perang dingin, kabarnya bangunan ini sempat dijatuhi Bom. Didalamnya banyak ruang pertemuan yang dihiasi ornamen mewah. Dan, tidak lupa dengan ornamen-ornamen merah khas komunis vietnam. Tapi, bukan berarti ya saya komunis karena ada foto itu wkwkwk. Soalnya belakangan ini mulai banyak orang yang menggali-gali foto orang lain atau lawan politiknya untuk membuat fitnah agar bisa menjatuhkan citra lawan tersebut dalam percaturan politik. Bukan hanya ditingkat nasional, fenomena ini menjalar ke tingkat daerah, dan bahkan tingkat kampus. Rasa-rasanya memang kita harus meningkatkan pemaknaan dari arti pendidikan itu sendiri.

Oke-oke cukup kultumnya, kita kembali lagi ke ceritanya. Jadi di Monumen ini disediakan pula fasilitas menonton bagi turis. Sayangnya dilarang mengeluarkan alat perekam disana. Ruang menonton itu sendiri dibagi dua satu berbahasa inggris dan mandarin. Dan, waktu saya masuk ke ruang berbahasa Mandarin fasilitas kursinya lebih nyaman. Saya teringat pengalaman di Malaka Tower, Malaysia yang memberikan bonus snack dan air minum bagi warga asli Malaysia. Disitu terlihat bahwa pengelolanya memberikan prioritas bagi warga lokal. Salut!

Setelah berkeliling Independent Museum nyaris 2 jam kami berempat bersiap-siap menuju Kamboja. Sebelumnya, kami duduk-duduk dulu di Taman Kota Ho Chi Minh. Meskipun negara tersebut komunis, kami melihat orang-orangnya cukup bahagia. Walaupun demikian, hal itu tidak bisa digenaralisasi untuk keseluruhan wilayah Vetnam rakyatnya bahagia dibawah kepemimpinan Komunisme. Apalagi, Ho Chi Minh bisa disebut sebagai daerah istimewa yang sebelumnya sudah dipengaruhi oleh budaya-buadaya barat.

O iya, salah satu niat perjalanan ini kan melihat kesiapan negara-negara menghadapai ASEAN Community. Dari dua negara yang sudah kami lalui ini lumayan persiapannya. Kalau Singapura secara infrastruktur memang sudah cukup mempuni. Untuk Ho Chi Minh sendiri sepanjang jalan di pasang bendera-bendera ASEAN. Masih ada 4 negara lagi yang akan kami kunjungi.
Untuk perjalanan selanjutnya, kami akan menuju Kamboja. Tunggu cerita selanjutnya :)

Salam, Brewok Backpacker!

No comments:

Post a Comment