Muslim, Kisah Seorang Ayah, anak dan Keledai, serta Gejolak Media Sosial

Sumber : Ilustrasi Google
Masih ingat kisah Anak, Bapak dan Keledai? Kisah yang menunjukan bagaimana pun kondisi kita orang lain akan terus berkomentar. Kisah yang mengajarkan kita agar tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain. Meskipun kritik dan saran orang lain perlu menjadi pertimbangan kita. lalu, bagaimana kondisinya di era media sosial saat ini? Tentunya kita harus bersikap dengan sangat bijaksana, karena terdapat berbagai pemikiran yang beredar luas tanpa batas disana. (Cek disini: Cerita Ayah, anak dan Keledai)

Dalam dunia media sosial, seringkali kita dibingungkan karena bermacam pemikiran saling berbenturan. Wajar saja, selama ini setiap golongan berupaya mempromosikan pemikirannya untuk meraih eksistensi. Knowledge is Power, istilah yang menunjukan pengetahuan atau pemikiran merupakan sarana untuk memperoleh kekuasaan. Dalam kajian keilmuan islam, perang pemikiran ini disebut juga Ghazwul Fikri. Secara bahasa Ghazwul berasal dari kata Ghozwah yang berarti peperangan dan Fikri berasal dari kata Fikr yang berarti pemikiran. Dalam arti luas Ghazwul Fikri adalah cara atau bentuk penyerangan yang senjatanya berupa pikiran, tulisan, ide-ide, teori, argumentasi, dan propaganda.  Maka, ketika terbuka sebuah ruang bernama media sosial setiap pemikiran semakin atraktif mencari eksistensi.


Dalam pandangan penulis, fenomena media sosial telah merubah atau setidaknya memberikan kesempatan bagi pemikiran minoritas untuk muncul di wilayah publik. Maklum saja, media-media konvensional yang tidak ramah bagi kalangan minoritas sekarang bisa didengar oleh publik. Kalau kita berani adil, Kita harus mengakui media internasional saat ini dikuasai oleh segelintir golongan yang menyerang dan menghujat habis-habisan golongan muslim sebagaimana teman-teman pendukung kebebasan berpendapat, temen2 liberal, temen2 pedukung LGBT dihadang oleh media muslim. Ini adalah kompetisi pemikiran. Kenapa sampai membawa-bawa mereka semua? karena disinilah letak keprihatinan saya. Saya pusing ketika bahkan seorang muslim mendukung gagasan-gagasan kebebasan tapi menyerang saudara muslimnya sendiri, bukannya saling menasehati secara santun. Misalnya, dalam suatu kasus ada akun yang mempromosikan untuk menggunakan jilbab akhirnya disebut Arabisasi. Memang, dalam beberapa kesempatan akun islami tersebut menggunakan kata-kata yang cenderung provokatif. Saya berusaha adil dalam konteks ini, keduanya punya kesalahan tapi saya sangat sedih ketika keluar tanggapan upaya tersebut adalah upaya Arabisasi. Padahal, dalam Surat An-Nur 30-31 jelas aturan berpakaian wanita, juga terdapat peraturan bagi Pria:

  ;قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ 

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. dan Katakanlah kepada wanita beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki mereka, atau putera saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan –pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS An nur : 30-31)

Dalam kasus ini beberapa akun Islam mempunyai kesalahan dalam menyampaikan perintah berjilbab seakan-akan perempuan merupakan obyek material yang serupa dengan barang yang dapat diperjual kan (Misalkan Kasus Paha & Dada Ayam). Tentu saja hal ini tertolak, khususnya bagi kalangan akademisi karena melecehkan kaum wanita. Disitu memang letak kesalahannya, dan entah kenapa saya ingin mengatakan 'itu kesalahan kami' meskipun bukan saya pelakunya; Bisa jadi, karena saya belum bisa berbuat banyak menyelesaikan kesalahan tersebut dan saya fikir seharusnya semua muslim merasakan hal ini dan memperbaikinya. Bukan justru sebaliknya, menyerang, melecehkan, mencemooh akun-akun itu seakan lupa bahwa diluar kesalahannya mereka melakukan sebuah kewajiban yang saya atau teman-teman lupakan sebagai seorang muslim. 

Kondisi umat muslim yang saat ini bercerai-berai membuat beberapa dari kita terjebak dalam kebanggaan membela golongan sendiri diatas golongan lainnya meskipun sesama muslim. Tapi, sadarkah kita dengan perlakuan tersebut sebetulnya kita telah menyerang diri kita sendiri, menyerang diri kita sebagai seorang muslim? Hari ini, peran media sosial telah memperluas arena perang pemikiran itu sendiri. Jika dalam kisah Seorang Ayah, Anaknya, dan Kedelai, Orang yang mengkritik mereka mungkin hanya sebatas orang yang berada di jalanan tersebut. Saat ini, jika anda melakukan sebuah kesalahan orang yang mengkritik anda akan ada puluhan, ribuan, hingga jutaan, bahkan jika beruntung anda bisa masuk Trending Topics. Dalam kondisi yang serupa anda akan mendengar ribuan hingga jutaan hujatan yang benar (ada faktanya) maupun fitnah dalam satu waktu yang dekat. Lelah rasanya jika harus meladeni hujatan-hujatan tersebut satu persatu. Tapi kisah Seorang Ayah, anak, dan Kedelainya itu harus diangkat menjadi pembelajaran berarti agar upaya maju dan memperbaiki diri tidak boleh berhenti.

“whatever we say, wathever we do, people will always find something to say.”

Semoga melalui tulisan ini membangun kesadaran bahwa memang jika ada orang-orang yang salah dalam menyampaikan nilai-nilai Islam bisa dikoreksi bersama-sama, bukan hanya pelakunya yang diminta santun namun juga yang memberi nasehat harus santun. Karena sadar atau tidak sadar hujatan muslim kepada muslim ini nantinya akan tersiar, dan menunjukan seolah-olah muslim sangat buruk oleh pendapat muslim sendiri. Semoga Allah mengampuni kesalahan kita dimasa lalu dan menunjukan jalan kedepannya.

Jika ada masukan, kritik, atau saran silahkan sampaikan di kolom komentar. Jangan ragu untuk menyampaikan pendapat kalian :)

No comments:

Post a Comment