Penumpang dan Taksi yang Tak kunjung Datang


Sadang Serang, 02 Juni 2015

                Malam lalu, aku pulang sedikit malam. Belum berbuka puasa, dan belum shalat maghrib. Waktu itu Bandung sangat macet sekali, Dari Jatinangor yang biasanya hanya 90 menit jika menggunakan damri melonjak menjadi 150 menit. Alhasil, sampai pun terlambat. Akan tetapi, ada satu hal yang menarik ketika saya menyaksikan dua orang yang berdiri diantara kegelapan yang remang-remang maghrib itu sambil menanti Taksi atau yang lebih tepatnya angkot. Sayangnya kedua orang tersebut bukan menunggu di terminal, melainkan di tempat yang sedikit lebih jauh dengan harapan tidak harus menunggu angkot itu ngetem.
                Dalam kondisi malam-malam yang semakin gelap gulita tersebut, saya berfikir apabila taksi yang ditunggu-tunggu juga berfikir bahwa mungkin tidak ada penumpang lagi. Maka penumpang dan taksi tidak akan pernah bertemu. Pada titik ini, asumsi saya melambung bahwa cinta pun demikian. Apabila tidak ada yang berupaya menghampiri tidak akan tercipta pertemuan. Sebuah hal yang kemudian membuat saya menarik nafas dalam-dalam. Namun, belum selesai tarikan nafas itu terasa ngilu ketika diujungnya. Masih tersisa namamu. Mungkin inilah mengapa orang mengatakan bahwa “ini dari hati yang paling dalam”. Adalah paling dalam karena ketika semua bayang berusaha kuhilangkan, sebutan tentang dirimu masih bertahan. Dan setiap tarikan nafas aku berusaha berdamai dengan semua ini.
                Maha suci Allah, yang menciptakan manusia berpasang-pasangan. Sungguh, Dzat yang mampu membolak-balikan hati makhluknya. 

No comments:

Post a Comment