Kisah Gie atau Soe Hok Gie merupakan kisah yang selalu
diceritakan berulang-ulang oleh kebanyakan mahasiswa, bahkan menjadi narasi
para mahasiswa untuk berani memperjuangkan rakyat-rakyat kecil. Saya masih
ingat betul, bagaimana saya disodori buku Soe Hok Gie oleh kakak kelas semasa
SMA. “Ini kitabnya mahasiswa” katanya. Meskipun, saya belum membaca buku tersebut. Hari ini, melalui film Gie saya sadar
semangatnya sama dengan semangat saya.
Dalam
kisah tersebut, Gie adalah sosok yang berani berdiri atas nama kebenaran tanpa
syarat; pandangan agama, suku, dll. Gie adalah aktivis yang sangat akrab dengan
lingkungan, menurutnya alam adalah teman jiwanya. Gie adalah pendiri Mapala UI.
Kebenaran adalah sebuah hal yang selalu ia upayakan dalam mengkritik pemerintah
melalui surat kabar. Perjuangannya mengundang ketertarikan beberapa golongan
untuk bekerja sama, namun Gie menolak upaya menarik simpati masyarakat untuk kepentingan
segelintir kelompok. Gie memilih membela manusia-manusia kecil yang tidak
diperhatikan pemerintah, ketika suara kebenaran nyaris tidak memiliki tenaga.
Gie tak peduli resikonya. Gie melawan pemerintah.
Presiden
Soekarno terjungkal, Partai Komunis menjadi tumbal, dan saat itu negara dikuasai
oleh militer. Beberapa penjagalan kelompok komunis dilakukan dibeberapa titik
dinegeri ini. Kita tidak berbicara mengenai identitas, karena mereka juga
adalah manusia yang ‘seharusnya’ tidak bersalah dalam menyampaikan pendapatnya.
Manusia-manusia kecil yang tertarik ikut gerakan komunis karena kesusahan hidup
itu akhirnya ikut dibunuhi. Gie merasa bahwa dirinya ikut bertanggung jawab
atas kematian orang-orang tersebut.
Pada
16 Desember 1969, Gie berangkat ke Semeru menuju tempat dimana dia merasa
damai. Hidup di kota membuatnya jengah, lampu-lampu kota di Jakarta yang
menyinari bis yang dinaikinya terasa kosong. Kedamaian yang kosong. Dalam Film
tersebut, Gie mengirimi Ira, wanita yang disukainya, sebuah surat yang menyatakan bahwa dia ingin tenang
bersamanya selamanya. Namun, Dalam referensi yang saya cari di Internet Gie meninggal
bersama Idhan Lubis sehari sebelum hari ulang tahunnnya pada tanggal 17
Desember akibat mengirup gas beracun.
Tidak
ada yang tahu perihal hati manusia. Saat itu, sosok Gie mendapat tekanan yang
sangat besar dari pihak pemegang kepentingan. Menurut salah satu tokoh di Film
tersebut, gaya Gie yang keras dalam membela kebenaran wajarlah mengundang orang
memusuhi dirinya. Tidak ada yang tahu perihal hati manusia. Sempat terfikir
bahwa Gie senagaja mengakhiri hidupnya karena dia masih sempat menuliskan
sebuah surat untuk Ira meskipun beberapa narasi mengatakan bahwa Gie meninggal
karena menghirup gas beracun di puncak mahameru tersebut.
Sebelum
mengakhiri kisah Gie tersebut, saya ingin merefleksikan beberapa hal yang saya
dapat dari film tersebut. Perjuangan membela rakyat kecil yang semakin terdesak
merupakan hal yang semestinya dilakukan mahasiswa. Sayangnya, dari revolusi ke
revolusi perjuangan tersebut dimanfaatkan oleh
kelompok kepentingan yang pada kesempatan berikutnya menjadi pihak yang menyusahkan masyarakat. Pesan
lainnya yang sangat penting adalah belajarlah bertahan terhadap segala opini
dan tekanan dalam berbuat kebenaran. Jangan menyerahkan diri pada keputusasaan,
ada Allah tempat kita kembali.
Hari ini, seorang ayah dari anak yang luar biasa
meninggal dunia. Beliau meninggal di hari Jumat, menurut teman saya orang baik
meninggal pada waktu yang baik. Dalam kepercayaan Islam, meninggal di hari
Jumat adalah sebuah keistimewaan dan sebagai pertanda keutamaan orang tersebut
di surga.Saya
menyadari berita tersebut merupakan hal yang menyedihkan, namun Islam
mengajarkan bahwa kematian adalah sebuah kepastian. Hal lain, yang membuat
saya tenang adalah karena pribadi anaknya merupakan sosok yang hebat. Kini, dia
adalah pembina di asrama saya dan sedang menyelesaikan skripsi. Sebuah kisah
yang pada umumnya berlaku pada orang-orang luar biasa, sebut saja Ahmad Fuadi,
dll.
Namun,
kata-kata justru bisa diartikan lain oleh orang kebanyakan. Kami berencana
berangkat ke Yogyakarta tempat akan dimakamkannya sosok ayah hebat tersebut.
Saya merasa bahagia dan bersyukur karena selama dua hari ini sempat merisaukan bagaimana menghabiskan empat
hari libur tanpa melakukan perjalanan kemana-mana. Pagi hari tadi, saya mencoba
mengikhlaskan diri dan menyelesaikan berbagai tugas saya dengan perasaan
positif sebagai bentuk sabar dari ketentuan Allah. Tanpa diduga, kabar ke Yogyakarta tersebut
membuat saya berkesempatan pergi keluar kota. Apakah salah saya bahagia atas hal
tersebut?
Tidak
ada yang tahu perihal hati manusia selain orang itu sendiri dan Allah. Oleh
karena itu, saya mencoba bersabar namun memang sungguh berat menerima sebuah penilaian
yang tidak menggambarkan diri sendiri. Saya membayangkan betapa berat beban Gie
pada masanya atau Nabi Muhammad dalam perjuangannya, cobaan saya ini belum ada
apa-apanya. Mungkin ini adalah pelajaran penting ataupun juga teguran. Tapi,
saya bersyukur masih mampu mendengarkan dan menerima sedikit demi sedikit
nasehat orang lain. Semoga Mata, Hati, dan Telinga saya tidak ditutup atas
segala dosa-dosa sebelumnya.
Malam
ini, kalau sesuai rencana saya ke Yogyakarta. Maafkan segala ketidak sempurnaan
saya ini. Kita tidak tahu sampai kapan waktu kita hidup ini. Saya sangat
bersyukur dan bahagia karena telah mencapai titik kesadaran ilmu, agama ini atas karunia Allah SWT.
No comments:
Post a Comment