Cahaya dari Bandar Harapan

“Hidup bukanlah tentang mampu atau tidak mampu, melainkan mau atau tidak mau’  - Azhar Nurun Ala

Sore ini, saya baru membaca tulisan berjudul Tuhan Maha Romantis karya Azhar Nurun Ala. Itu juga baru masuk bab 2  berjudul sepucuk surat dari Tuhan. Dan, sungguh sangat mengesankan membaca kisahnya juga kisah mengenai keluarga mereka, Keluarga Nurun Ala. Saya memang bukan penggemar ‘tulen’ tulisan Azhar Nurun Ala, tapi latar belakangnya selalu menjadi motivasi tersendiri untuk berani bermimpi. Tempat tinggalnya berada cukup jauh dari keramaian, yang keramaian itu sendiri notabane-nya tidak lebih ramai dari jalan Ujung Berung, atau Jalan Jakarta, apalagi Jalan Braga. Namun, rumah dan keterbatasannya  tidak membuat keluarga itu menjadi kecil.

Namanya pertama kali saya lihat di papan pengumuman kelulusan SMP, namanya ada diurutan teratas entah nomor satu atau dua, tapi nama Nurun Ala itu cukup terekam dengan baik. Kemudian, saat saya masuk SMA saya kembali mendengar nama itu disebut lagi, kali ini dia membuat gebrakan karena berhasil masuk Universitas Indonesia. Adiknya tidak mau kalah, Belum selesai SMP, Azka Nurun Ala diumumkan masuk ke SMA Taruna Nusantara Magelang. Sampai akhirnya, dia meneruskan jejak kakaknya masuk Universitas Indonesia.

Nama keluarga Nurun Ala itu memang membuat saya kagum. Saya menyaksikan sendiri dari balik stir bagaimana jalan menuju perkampungan itu sangat jauh. Saat saya kesana ladang pertaniannya tampak cukup gersang, mungkin pusat pemukiman transmigrasi yang dipelopori masa orde baru ini kian tidak diminati. Nama kampung itu Bandar Harapan, namanya benar-benar Bandar Harapan. Kini Azhar sudah menuliskan tiga karya dalam bentuk buku, begitu juga adiknya kini fokus dalam pengembangan program teknologi informasi. Meskipun tidak seperti kakanya, prestasi adiknya tidak kalah cemerlang. Di sekolah dulu dia kerap kali menjadi sumber informasi teman-temannya. Mungkin tidak berlebihan jika saya sebut keluarga tersebut ‘Cahaya dari Bandar Harapan’.

Entah ini telalu berlebihan atau tidak, tapi akhir-akhir ini saya menyadari banyak teladan dari sebuah daerah bernama Lampung Tengah. Kisah Keluarga ‘Cahaya dari Bandar Harapan’ ini hanya salah satunya. Semoga cerita ini bisa dilanjutkan dari kisah-kisah orang lainya, yang berarti semoga lebih banyak bintang-bintang negeri ini yang berasal dari Lampung Tengah. 

Muslim, Kisah Seorang Ayah, anak dan Keledai, serta Gejolak Media Sosial

Sumber : Ilustrasi Google
Masih ingat kisah Anak, Bapak dan Keledai? Kisah yang menunjukan bagaimana pun kondisi kita orang lain akan terus berkomentar. Kisah yang mengajarkan kita agar tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain. Meskipun kritik dan saran orang lain perlu menjadi pertimbangan kita. lalu, bagaimana kondisinya di era media sosial saat ini? Tentunya kita harus bersikap dengan sangat bijaksana, karena terdapat berbagai pemikiran yang beredar luas tanpa batas disana. (Cek disini: Cerita Ayah, anak dan Keledai)

Dalam dunia media sosial, seringkali kita dibingungkan karena bermacam pemikiran saling berbenturan. Wajar saja, selama ini setiap golongan berupaya mempromosikan pemikirannya untuk meraih eksistensi. Knowledge is Power, istilah yang menunjukan pengetahuan atau pemikiran merupakan sarana untuk memperoleh kekuasaan. Dalam kajian keilmuan islam, perang pemikiran ini disebut juga Ghazwul Fikri. Secara bahasa Ghazwul berasal dari kata Ghozwah yang berarti peperangan dan Fikri berasal dari kata Fikr yang berarti pemikiran. Dalam arti luas Ghazwul Fikri adalah cara atau bentuk penyerangan yang senjatanya berupa pikiran, tulisan, ide-ide, teori, argumentasi, dan propaganda.  Maka, ketika terbuka sebuah ruang bernama media sosial setiap pemikiran semakin atraktif mencari eksistensi.